Melas kami menaung sebuah atap kayu bertumpuk. Sekotak besi bekas tempat bersemayam vandalisme yang sengaja untuk menarik perhatian manusia bertungkai ideologi hidup warna warni. Engkau dengan kawananmu sudah menghabiskan satu gelas besar minuman kuning penghangat tubuh. Judulku hanya sebuah persinggahan lama yang pernah ku letakkan garis tawa dan kata bersama. Harmonika, masih mengiang di udara penuh asap hina untuk pemuka. Ada sebuah tempat dalam bentuk papan tersimpan tulisan penuh makna untuk minoritas kaumku. Selamat bertemu kembali pelaku sketsa cat air.
Besi hitam dengan jaring besi menutup tabung hitam yang terjulur rakitan beberapa elemen untuk menyuarakan jenis musik emosional mereka berdua. Rambut ikal hitam yang kemudian terurai kehangatan senar biola di lehernya membawa kehangatan pada rintik hujan yang enggan untuk kembali lagi karena kepergian manusia pada waktu lelap seharusnya disamping telinga kami semua.
Obrolan ringan yang tak berguna sudah temaram di telinga sang pujangga. Pendengar yang imajinatif menguapkan gema desis aroma dosa yang disebabkan dua wanita di hadapanku. Sungguh hinanya mulut ini membicarakan makhluk tak berharga itu. Cahaya sudah redup entah apa maksudnya, aku tidak tertarik untuk memikirkan ini semua. Kali ini aku sedang berpikir dengan pemikiranku sendiri. Melihat para manusia berambut cepak dibalut kain-kain mainstrean sedang memegang mesin candu yang menyala. Aku lupa, bahwa aku juga sedang melakukannya. Eits, aku hanya sedang menuliskan ini untuk kalian yang ingin tertawa. Mereka sedang seperti budak yang dianiaya dengan halus oleh zaman. Rusak sudah imajinasi mereka, maafkan aku !
Sekitar beberapa saat lalu aku sedang marah, bertengkar dengan perhatianku. Aku merindukan seseorang, siapa yang aku rindukan, bagaimana bisa aku merindukan, berapa banyak rindu yang mengalir, kenapa aku merindukan ?
Bergurau saja terus dengan busa diatas gelasmu ! aku tidak berharap mengenal siapapun selain empat kepala yang menemani lingkaran perkenalanku sejak beberapa tahun kebelakang. Salah satu diantaranya adalah kepala yang mendengarkan dan menyaksikan aku bermimpi. Diatas tembok yang horizontal mengalaskan mereka dan membiarkan angin serta ilalang didepan mereka menyesakkan mimpi sang budak-budak pendidikan. Pikirannya masih polos dengan kekanak-kanakannya. Hanya aku yang tidak ada disana, ketahuilah mereka ada disana karena menungguku untuk mengucapkan mimpiku empat tahun kemudian, dan empat tahun itu adalah hari ini, Aku masih saja menjadi gadis yang belum mengejar formalitas perusak etika bangsa.
Kaca hijau selalu menjadi teman terbaik untuk pengagumnya.
Bercorong dan meneguk.
Menghangat dan meredam.
Melambat dan kembali.
Rangsangan dan lelap.
Selamat Malam Suara Cat Air !
Comments
Post a Comment