Pada suatu hari aku bertemu dengan manusia yang entah orang lain nilai apa. Sesungguhnya dia bertarung dengan mulutnya sendiri untuk menunjukkan eksistensinya. Mengatakan dirinya paling modern dengan mengusung anti mainstream dengan apa yang di usungnya adalah kemainstream-an yang ia pertontonkan di antara manusia-manusia berlogika rendah. Bagiku, sebuah idealisme adalah sebuah keinginan tertunda yang minoritas. Tanpa dukungan banyak orang yang tak menjadi realistis. Ketika sebuah idealis itu menjadi kenyataan maka tidak ada lagi idealis itu sendiri.
Manusia yang kalian sebut mainstream itu adalah manusia tanpa dosa yang tak mengerti artinya kemainstream-an itu sendiri. Kalian, dahulu pernah berada di tempat itu, di hina orang-orang yang sebelumnya sudah mengenal kesukaan kalian. Mengenal musik folk dengan minoritasnya yang sangat kental dengan idealis mereka masing-masing. Maka aku disini hanya menjadi pengamat apakah kalian ini benar-benar realistis yang jauh dari kata prestasi. Aku hanya sebagian manusia yang mencari beberapa keragaman musik dan ideologi hidup orang-orang yang mengagumkan. Aku tidak membenci orang-orang penyuka kemainstream-an. Apakah seharusnya kalian ini bertanya, pertemanan yang hanya di ukur dari baju yang kalian kenakan tanpa kalian sadar baju hasil keringat orang tua yang sangat menyukai musik dangdut ?
Tidak ada yang dapat dibanggakan dari idealis itu. Idealis butuh realistis untuk mengurung semua dendam tentang idea yang dituntun hebat. Mereka sejajar seharusnya, hanya saja egois disini menjadi penyakit yang mengurung kebebasan pikiran untuk menerima perbedaan. Coba tanya saja mengapa mereka menyukai The Beatles, menyukai Aero Smith, Pink Floyd, dan lainnya. Apakah mereka akan menjawab aku sejak SD sudah menyukai itu semua. Pasti akan ada kalimat kebohongan ketika jawaban itu di ungkapkan.
Suka atau tidak, kita semua pernah terbang dalam masa-masa yang sangat menyenangkan untuk mendengarkan atau menyukai sesuatu yang menggalaukan diri sendiri. Mengurung diri di kamar gelap dengan harapan akan menenangkan hati dan pikiran kita. Meminum sebotol minuman haram yang di kumpulkan menjadi satu hanya untuk sebuah tawa sementara, atau menghisap tembakau sintetis yang akan mengacaukan kesadaran dengan imajinasi sesaat tanpa ada pikiran untuk merubah semuanya ke arah yang lebih baik. Aku tidak munafik, aku pernah merasakan semua hal itu. Hingga aku sadar akan ada saatnya aku membenci diriku sendiri karena kesalahanku sendiri di masa lalu. Dipandang sebelah mata hanya karena penampilan yang terlalu cuek. Maka hati ini dengan sendirinya merasa sakit, merasa tidak dianggap, atau lebih parahnya di injak-injak dengan pemikiran formal yang sangat memuakkan.
Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini kecuali Tuhan. Mereka yang berkerah dan berdasi, apakah kalian pernah merasakan sebuah pertemanan tanpa pamrih ? mungkin yang ada di otak kalian hanya sebuah jabatan dengan kalimat penjilat. Berperilaku tanpa apa adanya hanya berharap sebuah penghormatan dari masyarakat kecil yang belum bisa menerima ilmu seperti kalian. Mengangkat tinggi-tinggi gelar yang kalian tempuh dengan perbudakan sebuah instansi pendidikan. Katanya instansi sosial dibuat untuk tidak mencari keuntungan, namun biaya pendidikan sudah cukup mahal di Negara seperti ini..
-AD-
Bandung, 17 April 2016
Comments
Post a Comment