Baru saja aku bergumam dengan keadaan hati yang tidak baik. Sudah panjang obrolan dua insan yang berdiri dengan prinsipnya. Aku hanya terpaksa mendengar dengan telinga tanpa menggunakan hati diwaktu itu. Masih saja aku tidak bisa mencerna kalimat demi kalimat dengan tanda tanya kata menyerah yang menyerang hati dan otak dia. Tapi tunggu dulu ! bukan hanya dia, sudah beberapa kali ada manusia yang seperti itu. Dengan lantang dia benci dengan sebuah pengenalan tapi munafiknya dia mengagumi bahwa banyak orang yang mengenalnya dalam kediaman.
Hallo Maysoora !
Aku masih tetap mengagumimu dengan ke-Idealis-anku. Masih berkata miris dengan penolakan karya. Lihat sekitar kehidupanku, mereka sangat menyukai sebuah ke-Narsis-an dari pada sebuah prestasi. Oh tidak, apa jadinya dunia ini tanpa sebuah karya ? bukankah sosial yang kalian gunakan adalah hasil sebuah keindahan dan karya manusia yang mendesainnya sedemikian rupa hingga kalian menyenangi apa yang ditawarkannya. Tapi nama kalian ingin dipopularitaskan dengan modal wajah, kamera mahal, editan yang jenius, dan pengikut yang tidak tau akan filosofi penggunaan sebuah materi teknologi. Jangan marah ! aku tidak pintar seperti kalian hingga aku hanya bisa mengumpulkan kurang dari 100 manusia untuk menyukai hasil karyaku yang tidak seluar biasa itu.
Tapi Maysoora !
Aku tau kau sedang berpihak padaku karena aku sudah berjalan-jalan dari beberapa pihak dengan berbagai kegemaran mereka masing-masing bukan ? ya aku tau pasti kau sedang memujiku saat ini. Aku sudah seperti dirimu ! aku sudah menghilangkan keinginanku untuk menjadi tamak dengan kesombongan yang memenjarakan jiwaku. Karena seorang filsuf yang berjenggot ini berkata :
"hanya ada dua cara untuk membebaskan jiwa manusia, pertama dengan kematian dan yang kedua adalah dengan pengetahuan. Sehingga jiwamu tidak terpenjara dalam tubuhmu"
Aku menjunjung keidealisan tapi aku tidak menutup realitaku. Aku masih mengenal dan dikenal, tapi biarkan aku berjalan dan berperilaku dengan pengetahuanku sendiri. Tanpa sebuah pengetahuan, realita hanya berjalan sebagai penggenggam tangan yang diborgol. Tanpa sebuah realita maka pengetahuan hanyalah omong kosong. Jadi, dampingi realita dengan imajinasi dan bebaskan jiwa dengan pengetahuan bila kalian tidak ingin mati dari realita dan imaji.
-AD-
Bandung, 01 Agustus 2016
Comments
Post a Comment